Oleh: Noorhalis Majid
ASPRASINEWS – Menjadi manusia haruslah bermanfaat bagi manusia lainnya. Bahkan bukan hanya bagi manusia, tapi juga bagi seluruh makhluk hidup, bagi alam dan lingkungan tanpa kecuali. Semakin bermanfaat, semakin menjadi manusia. Betapa celakanya, ketika justru membawa bencana bagi banyak manusia.
Paribasa ini sepintas seperti kasar. Atau mungkin memang kasar. Menggambarkan betapa bencinya kebudayaan Banjar terhadap orang yang tidak berguna dan tidak mampu memberi manfaat bagi lingkungannya. Biasanya diucapkan dengan nada marah, kecewa dengan segala macam kekesalan. Suatu kritik keras, disampaikan tanpa basa-basi, lugas, tidak perlu dibungkus sopan santun
Entah kapan paribasa ini lahir. Mungkin sudah sangat lama. Metapor yang digunakan adalah tahi yang larut atau hanyut. Settingnya masa jamban masih mendominasi pinggiran sungai-sungai. Ketika tidak ada lagi jamban di tepi sungai, metapor ini membingungkan, Sulit membayangkannya. Boleh jadi akan berkata, kok bisa ya tahi larut di sungai?.
Sejak saya kecil, ibu saya sering mengucapkannya. ketika melihat anaknya yang malas sekolah dan belajar, terucap kritik yang sangat menohok, sebagai satu bentuk kekhawatiran, bila tidak mampu belajar dan berupaya membekali diri sebanyak mungkin, nanti tidak bisa menjadi manusia yang berguna bagi manusia lainnya. Atau kritik saat melihat ada yang tidak mau berperan serta atau berkontribusi. Hanya enaknya saja, tidak memberikan sumbangsih apapun, padahal semua orang berkontribusi sesuai kemampuan dan perannya masing-masing.
Faktanya memang ada jenis manusia yang tega, tidak memberi andil, tidak berguna, tidak memberi manfaat. Bahkan ada orang yang sebagian massa hidupnya selalu membuat orang lain susah. Menjengkelkan, menjadi sumber masalah. Ada atau tiada dia, tidak menambah apapun, bahkan lebih baik tidak ada, agar tidak membuat susah orang lain.
Suatu metafor yang menghunjam ke jantung. Harga diri dilucuti. Tahi yang hanyut saja, sekalipun kemudian melahirkan pencemaran E-Coli yang sangat besar di sepanjang sungai Banjarmasin, tetap masih dianggap memberi manfaat. Karena masih ada biota sungai yang memerlukannya untuk hidup. Ketika lebih rendah dari itu, sungguh jenis manusia yang dianggap sangat hina.
Kritik pada seseorang yang tidak memberikan peran dan manfaat apapun ini, mengandung makna bahwa orang Banjar tidak suka pada jenis manusia seperti ini. Menjadi manusia haruslah bermanfaat. Manusia yang tidak berguna, ditempatkan sangat rendah, bahkan lebih rendah dari kotoran.
Semakin banyak memberikan manfaat, semakin berguna hidup. Ketika tidak mampu memberi manfaat, sebenarnya memang tidak diperlukan lagi untuk hidup. Dalam beberapa kebudayaan, ketika seseorang tidak mampu lagi memberi manfaat, dia akan pergi, ada yang masuk ke dalam hutan, menyendiri. Bahkan ada yang sampai “membunuh” dirinya sendiri. Dalam kebudayaan Banjar, seseorang yang merasa tidak mampu memberi manfaat, stagnan, merasa tidak berkembang, biasanya akan memilih pergi dari kampung, madam ke tempat orang lain untuk mengubah nasib.
Madam adalah satu solusi ketika “baguna tahi larut” menjadi stigma pada seseorang. Orang tua atau keluarga akan merelakan madam, karena itulah yang diajarkan oleh adat. Memberi makna, orang Banjar sangat terbuka. Dunia tidak sempit. Di tempat lain mungkin akan ada perubahan. Madam adalah suatu tekat. Bentuk pembuktian agar kelak menjadi manusia berguna. Baru akan akan kembali, jika berhasil atau berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Bagaimana terhadap yang sukses berjabatan dan tajir melintir? Jabatan, kedudukan tinggi, bahkan harta yang berlimpah, semestinya digunakan untuk memperluas cakupan kemanfaatan seseorang. Tak bermakna apapun, ketika menduduki jabatan, saat harta berlimpah, saat popularitas dan kepercayaan memuncak, namun sama sekali tidak memberi manfaat bagi manusia lainnya, jangan-jangan memang “baguna tahi larut”. (nm)












