(Ambin Demokrasi)
Oleh: Noorhalis Majid
ASPIRASINEWS – Di era sekarang, dimana politik sudah semakin busuk, Pemilu dan Pilkada curang dianggap lajim, bila ada yang memperjuangkan supaya kembali sebagaimana amanat UU, agar berlangsung bebas, jujur dan adil, maka pejuang tersebut dianggap kurang kerjaan.
Karena dianggap kurang kerjaan, mungkin ada yang menertawakan. Hal yang terjadi dengan Syarifah Hayana, justru lebih tragis. Maksud hati ingin mewujudkan Pilkada yang jujur dan adil, malah ditekan sedemikian rupa. Perempuan pemberani tersebut mengalami intimidasi dan bahkan kriminalisasi.
Padahal perempuan, yang merupakan ibu rumah tangga tersebut, telah berjuang pada ranah yang tidak biasa, yaitu demokrasi. Sedikit sekali perempuan mau menceburkan diri pada wilayah yang keras seperti ini. Dia melakukan pemantauan pada 403 TPS, hingga proses rekapitulasi di Kelurahan, Kecamatan, Kota Banjarbaru dan sekarang memperjuangkannya di MK.
Perempuan ini berjuang, karena menginginkan lahirnya pemimpin yang benar-benar amanah, melalui Pilkada yang demokratis. Bukan demokrasi palsu, sekedar diucapkan, namun praktiknya dimanipulasi sedemikian rupa. Demokrasi “sahibar” prosedural, substansinya justru membunuh demokrasi, karena tidak jujur, tidak bebas, dan tidak adil.
Perempuan yang menghibahkan tenaga, pikiran, perhatian, bahkan uangnya sendiri. Bukannya mendapat apresiasi, tapi justru mengalami tekanan demi tekanan.
Dia didesak agar mencabut laporan di MK. Perjuangannya ditekan melalui surat yang ditanda tangani semua Forkopimda. Rasanya, belum ada orang yang mengalami seperti itu, disurati dengan surat berlogo lambang garuda emas, dan ditanda tangani bersama seluruh pimpinan daerah.
Penyelenggara Pilkada, yaitu KPU Provinsi, tiba-tiba mencabut akreditasi pemantaunya. Belum sampai di situ, dia dilaporkan ke Polisi, ditetapkan sebagai tersangka. Karena berstatus sebagai tersangka, aparat sigap memanggil, mendesaknya hadir dimintai keterangan. Desakan, tekanan dan intimidasi tersebut, dialaminya seorang diri.
Dia berkata dengan tegar, “saya tidak takut pada tekanan, saya siap menghibahkan diri untuk suatu perjuangan mulia, demi lahirnya pemimpin yang amanah”. Dia hanya khawatir pada keluarganya, pada anak-anaknya yang terpaksa berhenti sekolah dan harus diungsikan karena takut ikut mengalami tekanan.
Di tengah ribuan pemilih yang tidak merasa berdosa telah menerima suap dalam Pilkada, dia justru berdiri tegak memperjuangkan Pilkada yang jujur dan adil. Hal yang sangat langka bagi seorang perempuan.
Mestinya, seluruh pihak yang mengaku memperjuangkan demokrasi, terutama perempuan, berada di barisan Syarifah Hayana, dialah perempuan pejuang demokrasi tersebut, yang menolak bungkam, tidak takut apapun, mesti penuh tekanan dan intimidasi. (nm)