
Polemik ini bukan hal baru. Persoalan antara masyarakat dan PT ASL pernah mencuat hingga ke Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPRD Barito Timur pada 31 Mei 2021 lalu. Kini, RDPU kembali digelar dengan melibatkan masyarakat dari tiga desa terdampak.
Ketua DPRD Bartim, Nursulistio, menegaskan pihaknya akan mengambil langkah penyelesaian konkret, salah satunya dengan meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk meninjau ulang dan membebaskan lahan masyarakat yang berada dalam kawasan hutan produksi yang saat ini dikelola PT ASL.
“Tadi kita kembali melaksanakan RDPU sebagai tindak lanjut dari dinamika yang terjadi terhadap aktivitas PT ASL. Ada perbedaan prinsip operasional — PT ASL bergerak di bidang pelestarian kawasan hutan, sementara masyarakat Pulau Patai, Taniran dan sekitarnya telah lama bertani dan bermukim di wilayah itu,” ujar Nursulistio usai rapat, Senin (20/10/2025).
Menurutnya, kawasan yang dikelola PT ASL berdasarkan SK Kementerian LHK ternyata juga mencakup wilayah yang selama ini menjadi lahan garapan masyarakat. Kondisi ini membuat penyelesaian persoalan tidak bisa dilakukan secara sepihak.
“Kita harus mencari solusi terbaik. PT ASL punya tanggung jawab atas izin pelestarian yang diberikan, tapi masyarakat juga jangan sampai terdampak secara ekonomi,” tegasnya.
Nursulistio menjelaskan, dalam pengelolaan kawasan hutan produksi terdapat dua kategori, yakni hutan produksi tetap yang tidak dapat diubah fungsinya, serta hutan produksi yang dapat dikonversi menjadi lahan pertanian atau permukiman.
“Kesimpulan rapat tadi, kita akan inventarisir masyarakat yang memiliki hak atas tanah di kawasan tersebut. Hasilnya akan disampaikan melalui kepala daerah kepada KLHK agar dilakukan peninjauan kembali, sehingga lahan masyarakat dapat dikeluarkan dari kawasan hutan produksi,” jelasnya.
Ia juga meminta pemerintah desa memfasilitasi penerbitan surat keterangan tanah bagi warga yang belum memiliki legalitas atas lahan yang telah lama mereka kelola.
“Ada masyarakat yang belum memiliki surat. Kami minta kepala desa membantu agar mereka mendapat keterangan resmi. Harapannya ada kebijakan dari Kementerian untuk mengakomodasi dan mengeluarkan lahan masyarakat dari kawasan hutan produksi,” tambahnya.
Sementara itu, Operasional Manajer PT ASL, Agus Erwanto, menegaskan aktivitas perusahaan berjalan sesuai arahan dan izin dari KLHK.
“Kami fokus pada pelestarian lingkungan hidup. Kalau pun ada penolakan, kami ikuti mekanisme yang berlaku. Prinsipnya, kami menjalankan tugas sesuai aturan,” kata Agus.
Agus juga menyatakan bahwa PT ASL terbuka untuk bersinergi dengan masyarakat sekitar dalam bentuk kemitraan.
“Kawasan hutan tidak boleh dibebaskan. Tapi kita bisa bekerja sama, misalnya memberikan bibit tanaman produktif seperti cabai atau nanas untuk ditanam berdampingan dengan kebun karet. Harapan kami, kemitraan ini dapat menguntungkan kedua belah pihak,” pungkasnya.
Dengan mencuatnya kembali persoalan ini, DPRD Bartim berharap pemerintah pusat dapat segera turun tangan agar konflik antara masyarakat dan perusahaan tidak terus berlarut-larut serta tidak mengganggu kehidupan sosial-ekonomi warga.
(Ahmad Fahrizali)